SEMARANG, suaramerdeka.com – Kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan yang
dimanfaatkan dalam bentuk telemedicine dan aneka platform lainnya, harus
disikapi secara bijaksana. Sebab, belum ada pengaturan yang jelas dan
terintegrasi tentang hal tersebut.
“Cybercrime
menjadi pengetahuan yang wajib dipahami oleh tenaga kesehatan saat ini,” ungkap
pakar cybercrime Unika Soegiyapranata, Dr Antonius Laot Kan Ss Mhum di
seminar nasional: Cyberlaw dalam Bidang Pelayanan Kesehatan dan Implikasinya
bagi Tenaga Kesehatan di Hotel Grasia, kemarin.
Menurut
dia, dalam era serba digital ini, tenaga pelayanan bidang kesehatan bisa saja
tersandung persoalan hukum terkait penggunaan internet. Oleh sebab itu, untuk
meminimalisasi terjadinya tuntutan hukum akibat maraknya layanan kesehatan
online ini, pekerja di bidang layanan kesehatan harus berkarakter yuris dan
etis.
“Yuris
artinya bertindak berdasarkan hukum, sedangkan etis adalah taat pada etika
profesi medis,” jelasnya.
Antonius
memberi contoh, adanya kasus dokter wanita di Italia yang diajukan ke
pengadilan karena memposting foto selfie dengan seorang pasien yang sedang
dioperasi. Keluarga pasien kemudian menuntut kedua dokter tersebut karena
kelalaian dan tidak memiliki etika lantaran pasien sedang sakit malah berselfi.
“Dalam
kasus ini selfie medis ini secara etika tenaga kesehatan wajib menghormati
pribadi pasien dalam kondisi apa pun. Dalam konteks hukum pasal 26 UU ITE,
selfie medis ini bisa dituntut secara perdata,” paparnya.
Sementara
itu, pembicara lain Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, dokter Nasser
mengungkapkan, internet telah mengubah tren konvensional pelayanan kesehatan.
Pasien yang sebelumnya hanya dapat berkonsultasi dengan dokter di tempat
praktiknya, kini memiliki kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
“Internet
memungkinkannya tanpa membuat pasien harus bertatap muka dengan dokter. Namun,
tetap tidak bisa menggantikan peran petugas pelayanan kesehatan yang dilakukan
secara konvensional,” paparnya.
Menurutnya,
praktik pelayanan kesehatan secara online hanya sesuai untuk kegiatan promotif
dan preventif, bukan kuratif. Karena itu, dalam pelayanan secara online ini
tidak diperkenankan memberikan obat baik resep.
“Layanan
secara online idealnya hanya untuk pasien lanjutan bukan pasien baru. Oleh
sebab itu, provider pelayanan kesehatan online harus tegas. Yakni tidak boleh
memberikan obat dan berpraktik seperti pelayanan kesehatan konvensioal,”
paparnya.\
Ia
menambahkan, selaras dengan praktik layanan kesehatan umum yang mengedepankan
adanya kode etik pelayanan kesehatan, layanan kesehatan berbasis internet harus
pula memiliki kode etik tersendiri. Ini merupakan pekerjaan yang cukup rumit,
karena perbedaan fundamental yang ada di antara kedua jenis praktik dan
pelayanan kesehatan ini.
“Selain
itu, usaha ini juga harus melibatkan kerja sama seluruh stakeholder terkait,
demi menciptakan lingkungan dan hubungan yang dapat dipercaya. Tujuannya untuk
menjamin informasi dan layanan kesehatan yang berkualitas tinggi, serta untuk
menghormati privasi pasien,” paparnya.
Nasser
menyarankan agar penyedia jasa layanan kesehatan harus memastikan bahwa
informasi, termasuk konten dan klaim terkait produk kesehatan, adalah benar dan
tidak menyesatkan. Selain itu, wajib untuk menyediakan informasi yang akurat,
mudah dimengerti, selalu diperbarui dan dibutuhkan pengguna untuk membuat
pertimbangan pribadi terhadap informasi produk mau pun layanan kesehatan yang
disediakan.
“Dokter, perawat, dan praktisi
kesehatan lain yang memberikan nasihat atau perawatan medis secara online,
harus mematuhi kode etik masing-masing profesi. Para profesional harus
menjelaskan keterbatasan rekomendasi terapi mau pun diagnosis yang dilakukan
secara online,” tandasnya.
(Arie Widiarto/CN40/SM Network)
(Arie Widiarto/CN40/SM Network)