Selasa, 16 Mei 2017

Selfie Medis Langgar Etika dan Hukum


SEMARANG, suaramerdeka.com – Kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan yang dimanfaatkan dalam bentuk telemedicine dan aneka platform lainnya, harus disikapi secara bijaksana. Sebab, belum ada pengaturan yang jelas dan terintegrasi tentang hal tersebut.
“Cybercrime menjadi pengetahuan yang wajib dipahami oleh tenaga kesehatan saat ini,” ungkap pakar cybercrime Unika Soegiyapranata, Dr Antonius Laot Kan Ss Mhum di  seminar nasional: Cyberlaw dalam Bidang Pelayanan Kesehatan dan Implikasinya bagi Tenaga Kesehatan di Hotel Grasia, kemarin.
Menurut dia, dalam era serba digital ini, tenaga pelayanan bidang kesehatan bisa saja tersandung persoalan hukum terkait penggunaan internet. Oleh sebab itu, untuk meminimalisasi terjadinya tuntutan hukum akibat maraknya layanan kesehatan online ini, pekerja di bidang layanan kesehatan harus berkarakter yuris dan etis.
“Yuris artinya bertindak berdasarkan hukum, sedangkan etis adalah taat pada etika profesi medis,” jelasnya.
Antonius memberi contoh, adanya kasus dokter wanita di Italia yang diajukan ke pengadilan karena memposting foto selfie dengan seorang pasien yang sedang dioperasi. Keluarga pasien kemudian menuntut kedua dokter tersebut karena kelalaian dan tidak memiliki etika lantaran pasien sedang sakit malah berselfi.
“Dalam kasus ini selfie medis ini secara etika tenaga kesehatan wajib menghormati pribadi pasien dalam kondisi apa pun. Dalam konteks hukum pasal 26 UU ITE, selfie medis ini bisa dituntut secara perdata,” paparnya.
Sementara itu, pembicara lain Ketua Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, dokter Nasser mengungkapkan, internet telah mengubah tren konvensional pelayanan kesehatan. Pasien yang sebelumnya hanya dapat berkonsultasi dengan dokter di tempat praktiknya, kini memiliki kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
“Internet memungkinkannya tanpa membuat pasien harus bertatap muka dengan dokter. Namun, tetap tidak bisa menggantikan peran petugas pelayanan kesehatan yang dilakukan secara konvensional,” paparnya.
Menurutnya, praktik pelayanan kesehatan secara online hanya sesuai untuk kegiatan promotif dan preventif, bukan kuratif. Karena itu, dalam pelayanan secara online ini tidak diperkenankan memberikan obat baik resep.
“Layanan secara online idealnya hanya untuk pasien lanjutan bukan pasien baru. Oleh sebab itu, provider pelayanan kesehatan online harus tegas. Yakni tidak boleh memberikan obat dan berpraktik seperti pelayanan kesehatan konvensioal,” paparnya.\
Ia menambahkan, selaras dengan praktik layanan kesehatan umum yang mengedepankan adanya kode etik pelayanan kesehatan, layanan kesehatan berbasis internet harus pula memiliki kode etik tersendiri. Ini merupakan pekerjaan yang cukup rumit, karena perbedaan fundamental yang ada di antara kedua jenis praktik dan pelayanan kesehatan ini.
“Selain itu, usaha ini juga harus melibatkan kerja sama seluruh stakeholder terkait, demi menciptakan lingkungan dan hubungan yang dapat dipercaya. Tujuannya untuk menjamin informasi dan layanan kesehatan yang berkualitas tinggi, serta untuk menghormati privasi pasien,” paparnya.
Nasser menyarankan agar penyedia jasa layanan kesehatan harus memastikan bahwa informasi, termasuk konten dan klaim terkait produk kesehatan, adalah benar dan tidak menyesatkan. Selain itu, wajib untuk menyediakan informasi yang akurat, mudah dimengerti, selalu diperbarui dan dibutuhkan pengguna untuk membuat pertimbangan pribadi terhadap informasi produk mau pun layanan kesehatan yang disediakan.
“Dokter, perawat, dan praktisi kesehatan lain yang memberikan nasihat atau perawatan medis secara online, harus mematuhi kode etik masing-masing profesi. Para profesional harus menjelaskan keterbatasan rekomendasi terapi mau pun diagnosis yang dilakukan secara online,” tandasnya.
(Arie Widiarto/CN40/SM Network)

0 komentar:

Posting Komentar